A. Latar Belakang
Kamboja merupakan negara yang berpenduduk nomor dua terkecil di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa. Mayoritas negara-negara lainnya di Asia Tenggara memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih banyak daripada Kamboja .Pada tahun 1975, Penduduk Kamboja tercatat berjumlah 7.2 juta jiwa. Selama empat tahun masa kekuasaan dari Khmer merah, jumlah penduduk menurun drastis menjadi hanya 6 juta jiwa, banyak dari mereka yang di bunuh oleh khmer merah tetapi ada juga yang kelaparan dan ada pula yang bermigrasi dalam jumlah yang cukup besar, terutama orang-orang dari etnik Vietnam. Orang-orang Vietnam masih mencakup 5 % dari jumlah keseluruhan penduduk Kamboja, mungkin bisa mnecapai 10 % dari jumlah penduduk. Selama kekuasaan Khmer Merah, sebagian dari orang-orang Kamboja campuran Vietnam melarikan diri ke Vietnam, tetapi kembali lagi setelah terjadi penyerangan dari tentara Vietnam pada tahun 1979, bersama dengan para imigran Vietnam.
Kelompok penduduk yang dominan di Kamboja adalah dari etnik Khmer, sekitar 85 % dari jumlah keseluruhan penduduk kamboja. Sisanya adalah orang dari etnik Vietnam, lalu diikuti oleh orang-orang dari etnik Cina, dan sekitar 100.000 muslim Cham, Kelompok Cham telah ada sejak beberapa abad dan bermukim di wilayah sebelah utara dari Phnom Penh, tetapi sebenarnya mereka berasal dari daerah Danang yang sekarang adalah Vietnam. Sampai pada abad ke-15, kerajaan Champa berpusat di daerah Danang, yang menguasai rute perdagangan antara Cina dan Asia Tenggara. Kelompok Cham ditekan terus menerus hingga akhirnya mereka pergi kedaerah selatan dan daerah barat oleh orang-orang Vietnam (Annamese). Selama masa kemunduran dari kerajaan Angkor, mereka bermukim di wilayah yang sekarang adalah Kamboja
Selama kekuasaan Khmer Merah, Penduduk dari etnis cina yang ada di Kamboja, juga mengalami penderitaan, dan banyak yang melarikan diri. Semakin banyak gelombang pengungsi dari orang-orang Kamboja yang berasal dari etnis Cina asli yang meninggalkan negara Kamboja setelah penyerangan militer yang dilakukan oleh tentara Vietnam pada tahun 1979, ketika hubungan antara Vietnam dengan Cina berjalan dengan baik. Pada pertengahan tahun 90'an, orang-orang Cina yang menjadi bagian dari penduduk Kamboja diperkirakan berjumlah 100.000, sebanding kurang lebih 1 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Kamboja..
Hanya beberapa etnik dari Thailand dan Laos yang tinggal di Kamboja sekarang ini. wilayah pemukiman mereka di batasi sampai di kota bagian barat dari Kamboja yaitu di Battambang dan juga di wilayah perbatasan lainnya di sekitar Kamboja. Satu alasan kenapa sulit untuk memasuki wilayah Kamboja melalui dua negara tetangganya adalah karena Topografi dari wilayah perbatasan dengan Thailand dan Laos. Dimana tidak terdapat perbatasan alam antara Kamboja dan Vietnam selatan.
PNOM PENH – ”Kalau bisa lari, lari saja, tidak usah lagi melihat ke belakang. Mengingat kekejaman rezim Khmer Merah hanya akan mengundang dendam dalam kehidupan berbangsa. Toh, menghujat sekalipun tidak akan menghidupkan kembali anggota keluarga yang dibantai.” Pernyataan itu dikemukakan seorang petinggi Kerajaan Kamboja. Dengan mata berkaca-kaca, Wakil III Menteri Kehakiman Y Dan menuturkan kondisi negaranya pascaperang saudara akhir tahun 70-an. Kamboja sedang berbenah diri. Setelah perang saudara yang menewaskan sedikitnya 1,5 juta jiwa, pemerintahan koalisi berusaha memperbaiki keadaan di negerinya.
Satu hal yang senantiasa dijadikan dasar berpijak untuk mengawali upaya peningkatan kesejahteraan bangsa Kamboja adalah meninggalkan perang saudara sejauh-jauhnya. Kamboja tampaknya ingin menanamkan rasa nasionalisme dengan membangun kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Itu pula yang mendasari pemerintahan di bawah Perdana Menteri Hun Sen untuk tidak ”membiarkan” tokoh-tokoh Khmer Merah diadili di Peradilan Internasional bagi para penjahat perang.
B. Pembahasan
Rezim Khmer Merah adalah ”momok” yang menakutkan bagi rakyat Kamboja. Jangankan untuk membicarakannya, untuk mengingatnya pun sudah cukup membuat pilu. Namun, kesadaran untuk menghormati seluruh komponen bangsa Kamboja mendorong pemerintah untuk ”menghalangi” keinginan dunia internasional mengadili tokoh-tokoh Khmer Merah diadili di luar Kamboja. Kalau ada kesan Pemerintahan Hun Sen menghalang-halangi keinginan mengadili pelaku pembantaian di luar negeri, memang ada benarnya, ujar Y Dan. Sikap itu didasari alasan bangsa Kamboja ingin memiliki harga diri. Silahkan saja Mahkamah Internasional mendatangkan jaksa dan hakim dari mana pun, tetapi para tersangka harus diadili di negeri Kamboja. Untuk itulah saat ini Kamboja sedang mempersiapkan undang-undang untuk mengadili Khmer Merah.
Peradilan Internasional, menurut Y Dan, hanya akan memperburuk keadaan di Kamboja. Bahkan, ancaman perang saudara akan menjadi satu masalah yang serius. ”Kami adalah bangsa yang berdaulat. Kalau mau mengadili, biarlah diadili di Kamboja,” katanya.
Perang Saudara Rezim Khmer Merah berkuasa pada periode 1975-1979. Pada masa kepemimpinan Khmer Merah di bawah Pol Pot ini sedikitnya 1,7 juta rakyat Kamboja mati baik akibat penyiksaan, pembunuhan massal, eksekusi, maupun karena wabah penyakit, kelaparan, dan kerja paksa.
Khmer Merah sendiri merupakan kelompok Maoist yang berkeinginan melakukan revolusi komunis di Kamboja melalui perjuangan bersenjata. Strategi dasar Maoist ini mirip dengan model strategi gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), ”desa kepung kota”.
Strategi Maoist dilakukan dengan menguasai teritorial pedesaan melalui agitasi dan propaganda mereka untuk kemudian melancarkan insureksi di kota, di pusat kekuasaan. Pada awalnya, gerakan ini mendapat simpati yang cukup luas dari kaum muda, khususnya kelompok mahasiswa yang kritis, yang sudah muak dengan keadaan Kamboja saat itu, pada masa kepemimpinan Lon Nol yang dinilai korup.
Gabungan romantisme anak muda ditambah daya pikat ideologi Maoisme yang menjanjikan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat menyebabkan Khmer Merah berkembang menjadi satu kelompok politik yang dominan. Banyak analis berspekulasi killing field yang terjadi di Kamboja, khususnya ketika Khmer Merah menggiring kelompok profesional, pengusaha, dan intelektual, dan masyarakat perkotaan pada umumnya untuk bekerja di pedesaan.
Mereka yang dipandang ”borjouis dan kapitalistik” merupakan satu imitasi yang salah kaprah dari revolusi kebudayaan yang diterapkan Mao di Cina pada awal tahun 60-an.
Namun, kehadiran Khmer Merah mendapat tantangan dari faksi-faksi partai kiri lainnya yang tidak berorientasi ke Beijing. Apalagi pada waktu itu perang yang melibatkan sayap bersenjata dari partai komunis sedang berkecamuk di Indocina. Beberapa kelompok di Kamboja lebih berorientasi ke Vietnam dan Rusia sementara Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot dengan aliran Maoist-nya lebih berorientasi ke Cina. Kondisi politik inilah yang memicu perang saudara berkepanjangan di Kamboja. Apalagi kemudian kekuatan-kekuatan blok Barat seperti Amerika dan Inggris turut bermain ”meramaikan” konflik yang ada.
Ikuti Aturan Dendam tidak akan membuat korban pembantaian Khmer Merah bangkit dari kubur. Yang harus dipikirkan sekarang adalah generasi muda penerus bangsa Kamboja. Pada awalnya, dendam itu memang ada. Namun, cara untuk mengalahkan sisa kekuatan rezim berdarah pimpinan Pol Pot itu tidak dilakukan dengan cara memusuhi dan mengumbar dendam. Justru sebaliknya yang terjadi. Setelah pemerintahan baru terbentuk melalui Pemilu pertama tahun 1993, pendukung Khmer Merah diberi batas waktu enam bulan untuk menentukan pilihan. Bergabung dengan pemerintahan baru dan mengikuti aturannya atau tetap menjadi pendukung Pol Pot, dengan konsekuensi dianggap sebagai musuh pemerintahan yang sedang berkuasa.
Pemerintah menjamin hak hidup, hak memperoleh jabatan, dan hak untuk memiliki kekayaan dalam pemerintahan baru apabila sebelum batas waktu yang telah ditentukan menyatakan bergabung dengan pemerintahan baru. Langkah ini tentu saja tidak secara keseluruhan bisa diterima. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Kerajaan Kamboja, Letnan Jenderal Chey Sieng Yun mengungkapkan, sejak disetujui Paris Agreement 23 Oktober 1991, memang ada pemberontakan dilakukan sisa-sisa pendukung Khmer Merah. Mereka kemudian berkumpul di satu daerah bernama Pailin. Pailin adalah satu daerah yang terakhir bergabung dengan Kamboja
Niat Pemerintah Kamboja merangkul seluruh komponen bangsa ditunjukkan dengan menetapkan bekas asisten pribadi Pol Pot, Y Chhean menjadi Wali Kota Pailin. Selain menjadi simbol rekonsiliasi bangsa Kamboja, dengan menjadikan orang terdekat Pol Pot menjabat wali kota maka pemerintah bisa meminta tanggung jawab pada yang bersangkutan bila terjadi gejolak terkait dengan keberadaan Khmer Merah.
Konsep rekonsiliasi bagi bangsa Kamboja, menurut Wakil Ketua Senat Pangeran Sisowath Chivon Monirak, didasarkan pada tiga hal yaitu menerima dalam satu kursi untuk bekerja sama dalam perbedaan; menghentikan segala bentuk kekerasan; dan menghilangkan keinginan saling mengalahkan.
Konsep ini sederhana tetapi sangat penting. Setahap demi setahap harus dilewati menuju iklim demokrasi di Kamboja. Konsep menang-kalah hanya akan merugikan bangsa Kamboja sendiri. Oleh karena itu, lebih baik saling melengkapi untuk kemenangan bangsa Kamboja, katanya. Pemerintah berupaya tidak menanamkan rasa benci sekalipun tidak mengabaikan trauma yang terjadi pada masa kepemimpinan Pol Pot. Setelah 20 tahun rezim tersebut ditinggalkan, Khmer Merah tidak lagi dianggap sebagai bahaya laten.
”Ancaman bahaya laten Khmer Merah tidak pernah ditanamkan pada rakyat Kamboja maupun generasi muda. Tidak perlu lagi rakyat Kamboja diancam secara batin karena tanpa ancaman dan indoktrinasi dari pemerintah tentang bahaya laten Khmer Merah pun, rakyat Kamboja sudah bisa merasakan penderitaan berada di bawah Rezim Khmer Merah,” ujar Y Dan. Sama halnya dengan kekejian yang dilakukan Khmer Merah bila pemerintah terus melakukan ancaman dan indoktrinasi soal bahaya laten Khmer Merah. Rakyat sudah menderita, biarlah sekarang rakyat menyembuhkan luka batin dengan memberi ketenangan dan ketenteraman tanpa dihantui ancaman-ancaman baru.
Pemerintah merasa yakin, peringatan terhadap kekejian Khmer Merah tidak perlu berasal dari pemerintah. Dari orang tua maupun masyarakat sekitar yang mengalami kekejaman Khmer Merah pun, sudah cukup untuk menyadarkan generasi muda untuk mengerti sejarah perang saudara di Kamboja.
Cerita yang disampaikan orang tua dan masyarakat sekitar, diperkuat dengan monumen-monumen bersejarah seperti Killing Field dan bekas penjara Tuol Sleng sudah cukup untuk menjelaskan apa yang pernah dialami bangsa Kamboja. ”Itu semua sudah cukup untuk mencegah rezim itu muncul kembali,” katanya.
Para korban pembantaian yang sudah meninggal tak akan bangun lagi sekalipun seluruh rakyat Kamboja menggugat pada rezim Khmer Merah. Apa yang bisa dilakukan sekarang adalah melawan di meja perundingan. Tidak ada lagi perseteruan senjata. Demokrasi dilakukan di meja. Akan membicarakan siapa saja terserah yang jelas tidak ada lagi kekerasan sekalipun itu oleh pemerintah.
Langkah ini merupakan manifestasi kepercayaan pada agama bahwa mengundang dendam hanya akan membuka luka lama yang tidak akan pernah selesai. Khmer Merah tidak akan pernah dilupakan rakyat Kamboja. Dokumentasi tentang peristiwa itu banyak ditemui baik di perpustakaan, toko buku, maupun di tempat-tempat bersejarah baik dalam bentuk brosur, buku, maupun video compact disc.
Tidak ada upacara untuk memperingati kekejaman Khmer Merah. Pemerintah menganggap memperingati kekejaman Khmer Merah sama halnya dengan mengundang dendam lama. Menjelaskan peristiwa sejarah secara transparan, mengajak seluruh komponen bangsa berunding dalam satu meja, melupakan dendam lama, dan saling menghormati seluruh komponen bangsa jauh lebih penting dari sekadar upacara ”mengundang dendam”.
Benci dan dendam bukan untuk dipelihara, karena hanya akan melemahkan bangsa Kamboja. Khmer Merah adalah sejarah kemanusiaan terburuk di Kamboja. Tidak ada ”ancaman baru” bernama bahaya laten Khmer Merah. Karena siapa pun mereka adalah bangsa Kamboja.
C. Kesimpulan
Khmer Merah dalam Politik di Kamboja
1950
Komunis Kamboja bergabung dengan Vietnam melawan kolonialisme Prancis.
1954
Konferensi Jenewa: Prancis mundur dari Kamboja, Vietnam, dan Laos.
1954-1970
Kerajaan Kamboja di bawah Pangeran Norodom Sihanouk.
1962
Tou Samouth, pemimpin Komunis Kamboja, hilang. Pol Pot menggantikannya.
1965
Amerika Serikat meningkatkan serangan dalam Perang Vietnam. Komunis Vietnam berlindung ke Kamboja, Sihanouk memutus hubungan dengan Amerika.
1967
Khmer Merah pimpinan Pol Pot memberontak terhadap Sihanouk.
1969
B-52 AS membombardir kamp perlindungan Vietnam di Kamboja.
1970-1975
Jenderal Lon Nol menggulingkan Sihanouk dan menjadi Presiden Republik Khmer dengan sokongan Amerika. Sihanouk, dalam pengasingan di Cina, bergabung dengan Khmer Merah.
1973
Pesawat B-52 Amerika, yang didukung pasukan Lon Nol, menjatuhkan 250 ribu ton bom ke desa-desa Kamboja dalam tujuh bulan. Korban sipil tewas selama 1969-1973 mencapai 150 ribu orang.
1975
Pasukan Khmer Merah Pol Pot mengambil alih Phnom Penh. Kota-kota dievakuasi, negeri itu terputus hubungan dengan luar. Perwira, pejabat, dan tentara Lon Nol yang menyerah dibunuh. Pembunuhan brutal atas pendeta Buddha dan etnis minoritas (Cina, Vietnam, muslim Cham, dan Thailand).
1976
Pemerintah Demokratik Kampuchea berdiri dengan Khieu Samphan sebagai kepala negara, Pol Pot sebagai perdana menteri, Ieng Sary dan Son Sen sebagai wakil perdana menteri.
1977
Pembantaian berdarah gelombang kedua oleh kelompok Pol Pot untuk menghapus komunis pemberontak hingga wilayah perbatasan.
1978
Kamboja menolak berunding dengan Vietnam soal perang perbatasan.
1979
Tentara Vietnam menggulingkan rezim Pol Pot. Heng Samrin, bekas komunis pemberontak, diangkat jadi presiden dan Hun Sen sebagai menteri luar negeri (lalu perdana menteri).
1989
Tentara Vietnam ditarik keluar.
1990
Formasi Dewan Nasional Agung, terdiri atas enam anggota negara Kamboja dan dua dari masing-masing tiga faksi oposisi, termasuk Khieu Samphan dan Son Sen.
1991
Persetujuan perdamaian di Paris tentang Kamboja ditandatangani empat faksi Kamboja. Khmer Merah juga, tapi menolak gencatan senjata. Sihanouk menjadi kepala negara.
1993
Pemilihan umum, yang diboikot Khmer Merah, dimenangi koalisi Partai Funcinpec Pangeran Norodom Ranariddh dan Partai Rakyat Hun Sen. Ranariddh jadi perdana menteri dan Hun Sen wakilnya. Monarki dipulihkan, Sihanouk menjadi raja lagi.
1994
Majelis Nasional Kamboja melarang gerakan Khmer Merah.
1996
Khmer Merah pecah, Ieng Sary menyeberang ke pemerintah mencari amnesti.
1997
Pol Pot mengeksekusi Son Sen dan sebaliknya, kena tahanan rumah oleh Mok, Nuon Chea, dan Khieu Samphan. Kamboka membentuk Gugus Tugas Pengadilan Khmer Merah untuk mengadili para pemimpin Khmer Merah.
1998
Ke Pauk memimpin pemberontakan melawan Mok. Pol Pot meninggal di hutan.
1998
Desember, Khieu Samphan menyerahkan diri. Para pemimpin Khmer Merah yang tersisa minta maaf atas pembunuhan pada 1970-an.
1999
Ta Mok dan Kang Kek Ieu ditahan. Pemimpin lain menyerah, Khmer Merah praktis bubar. Kebanyakan pemimpinnya hidup di wilayah Pailin atau bersembunyi di Phnom Penh.
2001
Senat mengeluarkan undang-undang untuk mengadili tindakan genosida para pemimpin Khmer Merah.
2005
April, pengadilan untuk mengadili Khmer Merah mendapat lampu hijau Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah bertahun-tahun berdebat soal dana.
2006
Gugus Tugas Pengadilan Khmer Merah memulai kerjanya dan mendirikan Komando Tinggi Angkatan Perang Kerajaan Kamboja di Provinsi Kandal. Para hakim dan anggota pengadilan dilatih.
2006
Maret, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengusulkan tujuh hakim untuk pengadilan itu.
2006
Mei, Menteri Kehakiman Ang Vong Vathana mengumumkan 30 hakim Kamboja dan PBB untuk memimpin pengadilan itu.
2006
3 Juli, 10 hakim dan jaksa dari Kamboja serta luar negeri dilantik untuk memulai persidangan.
2006
21 Juli, Ta Mok meninggal dalam tahanan.
seputar 1970
BalasHapus-------------
saya merasa kok sepertinya dia sudah tahu
akan ada huru-hara,
harap diingat masa itu Sihanouk tidak
populer... sudah menjadi rahasia umum korban di perbatasan Kamboja tdk hanya NVA, tapi juga warga Kamboja yg terkena imbasnya akibat
kampanye carpet bombing-b52 Amerika yg disetujui secara diam2 oleh Sihanouk,
belum lagi Amerika marah karena pelabuhan Shihanoukville dibuka untuk masuknya senjata
China utk Khmer dan terutama NVA. Sihanouk sedikitnya mendapat keuntungan finansial disini termasuk orang2nya.
apa benar 1970 sebelum kudeta, ia hanya
sekedar melakukan lawatan ke luar negeri ?
apa ia merasa akan tjatuh dengan atau tanpa kudeta ?
saya yakin dia tahu semua ini, dan melemparkan beban
kepada Lon Nol, sekalipun dikudeta Lon Nol
ada harapan membalas karena dia berada di luar negeri,
tapi kalau tidak pergi kemudian dihancurkan oleh gabungan Khmer dan NVA, tanpa ampun Sihanouk akan masuk ke dalam jurang yg paling dalam. ingat Amerika benar2 marah atas dibukanya Shihanoukville, hanya soal waktu bagi Lon Nol yg pro AS utk kudeta, sinyal hijau jelas menyala dari gedung putih utk mendepak Sihanouk.
dia Sihanouk tidak berusaha menyelesaikan persoalan, tapi malah lari ke luar negeri, dengan berat hati saya harus mengatakan: Sihanouk adalah pengecut !
dia hanya berjuang untuk kepentingan sendiri, keluarganya,
dengan atas nama rakyat Kamboja.