omah kucink

Sabtu, 30 April 2011

MAKNA AGAMA DALAM MASYARAKAT JAWA DIKOTAMADYA YOGYAKARTA

MAKNA AGAMA DALAM MASYARAKAT JAWA DIKOTAMADYA YOGYAKARTA Pandangan “agama” dalam gambaran orang jawa ada dua sikap yang menonjol, pertama seluruh agama dianggap sama “baik”-nya, karena demikian dasar piker yang biasanya berkembang. Kedua, seluruh agama sebagai konsekuensi logisnya, harus mendapat penghormatan yang sama. Seorang filosuf Pakistan, Sir DR. Mohammad Iqbal, mengatakan bahwa “agama” itu merupakan suatu pernyataan utuh dari manusia. Jika renungan Iqbal ini memang benar maka sebenarnya “agama” itu dimata manusia, untuk setiap individunya, jelas merupakan “sesuatu” yang sangat berharga, bernilai. Menurut istilah kata ‘religi’ berasal dari bahasa latin “religio” yang memiliki arti mengikat (Driyarkara, dalam Indiyah 1997;47). Religi atau agama pada umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya dan semua itu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau kelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusiadan alam sekitar. Sementara itu, menurut hasil penelitian para antropolog, diketahui bahwa dalam setiap bentuk masyarakat, betapapun sederhnanya, di samping terdapat unsure “religi”juga terdapat unsur yang disebut “system nilai budaya” yang ternyata sangat efektif pengaruhnya terutama dalam hal memberi arah dan orientasi bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan (koentjaraningrat,1989:190). Pola pergaulan dalam masyarakat Jawa berdasarkan pada dua kaidah. Pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap tidak menimbulkan konfliks (perinsip kerukunan). Kaidah yang kedua menuntut agar manusia dalam cara bicaradan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat pada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (prinsip hormat) [Suseno, 1991;60]. Sebelum datangnya agama Islam di pulau Jawa, agama Budha dan Hindu dengan animisme dan dinamisme telah mengakar pada kehidupan masyarakat Jawa. Karena itu para wali songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa menggunakan metode integrasi antara ajaran Islam dengan budaya-budaya sebelumnya. Sehingga agama Islam diterima tanpa ada goncangan-goncangan. Dari proses ini lahirlah kebudayaan santri Jawa (Suseno,1991;31). Sampai sekarang santri Jawa ini masih berkembang terutama di lingkungan keraton dan masyarakat Jawa pada generasi tua. Nilai budaya yang menampak dipermukaan di kalangan masyarakat Jawa berpangkal, rata-rata, pada antropos(manusia). Ungkapan-ungkapan yang menonjol yang menunjukan hal seperti ini, misalnya: “ngiribi sifate Allah” [memiripkan sifat dirinya dengan sifat-sifat Allah], “jalma winili”)[manusia puncak], “manungsa binangung” [manusia tersadar] dan sebagainya. Sungguhpun begitu pemaknaan secara simbolik terhadap hal-hal yang menyangkut keraton, ternyata banyak mendapat inspirasi dari ajaran Islam. Misalnya, istilah “Ngayogyokata Hadiningrat” adalah alihan dari istilah agama Islam “hablun minallah wa hablun minnannas” (tali yang menghubungkan dengan Allah dan tali yang menghubungkan dengan manusia)lalu disimbolkan dengan tugu pal putih golong gilig yang terletak di ujung jalan mangkubumi sebelah utara yang tersambung lurus dengan jalan malioboro menuju bangunan keraton Yogyakarta. Masih banyak contoh-contoh yang lain. “agama”, sementara itu, menurut orang Jawa di Yogyakarta dipahami lewat kata-kata kunci “pepadhang universal” (pemberi sinar yang bersifat universal). Oleh sebab itu,agama harus berhasil masuk ke dalam diri setiap individu manusia. Oleh sebab itu, setiap agama harus menghindarkan diri dari konflik yang menyebabkan satu agama memusuhi agama lain. Oleh sebab itu pula, maka hal terpenting dalam agama adalah perlunya dihayati dan dinikmati betul-betulisi ajarannya dan diusahakan betul-betul egoisme agama yang dapat memudarkan kenikmatan beragama. Ada ungkapan menyatakan “sadaya agami punika sami” [semua agama itu sama]. “Sami” atau sama disini yang dimaksudkan adalah “baik”. “baik” disini ukurannya adalah : karena semua agama mengajarkan tentang usaha mensucikan diri dalam menjalani kehidupan didunia fana ini dan nanti kalau sudah mati tidak dapat berbuat seperti itu lagi. Agama apa saja dapat diterima, karena semua agama mengajarkan kesucian batin ini. Inti keberhasilan beragama adalah jika seseorang berhasil mensucikan batinnya dan sejau mana akumulasi amaliah nyata dari ajaran agama yang dianutnya. Semua agama menekankan seperti itu.dari sinilah akan muncul dinamika keberagamaan yang bernuansa keselarasan sebagaimana yang telah menjadi cita-ideal budaya Jawa.

Ronggowarsito dalam Serat Hidayat Jati

Ronggowarsito dalam Serat Hidayat Jati Judul : Sosok Ronggowarsito Di Pentas Politik Dan Seni Budaya Jawa Penerbit : Prisma, No 4 tahun XXI, 1992 Pengarang : Fadli Zon Tahun terbit : 1992 Kota terbit : Jakarta Tebal jurnal : 15 X 20 cm, 12 lmbr, 26 hlm Ronggowarsito adalah pujangga terkenal dari kraton Surakarta, beliau dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1802, catatan tersebut dapat dilihat salaha satunya dalam terbitan kamajaya 1980. beliau juga dikenal sebagai sang sufi, sang peramal, dan sang pujangga terkenal. Dengan karyanya seperti suluk dan wirid adalah buah karyanya, suluk sebenarnya mempunyai pengertian menurut kamus umum Prof. Dr. J.S Badudu suluk mempunyai arti dalam dua bahasa yaitu suluk dalam bahasa arab berarti jalan, tarekat, tasawuf, dan dalam bahasa jawa, suluk berarti tembang yang dilakukan oleh dalang ketika akan memulai sesuatu adegan atau babak dalam pertunjukan wayang. Tetapi ada juga kamus lain seperti W.J.S Purwadarminta yang menyatakan suluk adalah ajaran mistik yang diungkapkan dalam bentuk tembang. Salah satu karya terkenal dari Ronggowarsito adalah Serat Wirid Hidayat Jati, Fadli mengatakan beberapa karya Rongowarsito seperti Serat Hidayat Jati adalah karya sastra Islam berpenampilan Jawa. “ … karya sastra suluk pada Serat Hidayat Jati dan beberapa serat lain karya Ronggowarsito sebagai karya sastra Islam yang berwajah Jawa. Sumbernya sendiri, seperti ditulis Ronggowarsito berasal dari Al Qu’ran, hadist, Ijmak, dan Qiyas.” Dalam tulisannya Abdullah yang berjudul “ mencari nilai-nilai luhur dalam karya sastra Ronggowarsito “serat wirid Hidayat Jati”, juga mengatakan bahwa karya tersebut juga bersumber dari agama Islam. “… Wirid Hidayat Jati mmengajarakan Ilmu Ma’rifat untuk kesempurnaan hidup, dan Wirid Hidayat Jati bertitik tolak dari agama Islam, dan dalam ajaran agama Islam mempunyai empat tingkatan yaitu Syariat, Tariqat, Haqiqat dan Ma’rifat” Menurut Islam, seorang penyair muslim itu adalah seorang yang bertauhid dengan utuh. Ia hanya mempertuhan Allah dan tidak ikut menuhankan berhala-berhala. Seorang penyair muslim percaya pada Dia (Allah) sudah ada sebelum kata ada, ada, dan Dia akan tetap ada sesudah kata ada, tiada. Dengan kata lain orientasi akidah telah bersatu dengan gerak nafas sehingga menghasilkan keutuhan wajah dan kepribadian yang disebut penyair muslim. “ tujuan muthakir ibadat adalah kembali kepada Tuhan atau manunggal dan menjadi “Waskita ing sampurnaning sangkan peran” tahu akan awal ahkir hidup” Dalam serat Hidayat Jati dikatakan bahwa dasar ilmu Ma”rifat yang menerangkan bahwa Tuhan bersifat kadim (abadi). Antara Dzat, sifat, nama dan perbuatan dapat dibedakan berdasarkan pengertian tetapi keempatnya adalah satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan. dalam tulisannya Abdullah juga mengutip untuk menggunakan Ma’rifat untuk menuju jalanNya. “ jalan menuju Tuhan ini diperinci dengan penerapan sarana ilmu Ma’rifat, sarana menegakan zat Ilahi,cara menempuh ajal sejati (kasidan Jati),melalui laku susila dan Semedi (Manekung)” Simuh (1988) dalam menerjemahkan sedikit mengutip bait dalam serat hidayat Jati yang mengenai konsep manunggaling kawula_gusti yang menjadi sorotan seniman Mataram pada kala itu. “ Aku Dzat Tuhan yang bersifat esa, meliputi hambaKu, manunggallah menjadi satu keadaan, sempurna lantaran kodratku” Persentuhan budaya dengan perkemabangan Islam di jawa yang melahirkan gerak reformasi ini secara langsung ataupun tidak sudah dapat mengubah pemikiran Jawa terutama kepada hal-hal yang bersifat mitologis, magis dan mistis. Dan hal ini lah yang mempnyai dampak terhadap Ronggowarsito yang berada di persimpangan jalan, tidak adalagi karya sastra Jawa seperti dalam suluk dan wirid Ronggowarsito yang mengupas tentang pengalaman kesatuan dengan Tuhan, manunggaling Gusti. “ semua penghayatan, baik dalam alam batin maupun dalam alam gaib, yang ahkirnya berpuncak kepada penghayatan manunggal, sering tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata yang diambil dari peristilahan kehidupan pancaindrawi sehari-hari. Maka banyak para penghayatan manunggal atau para ahli mistik menggunakan bahasa kias. Karena para ahli ,istik itu juga dapat berusaha menuturkan penghayatan mereka secara rassional, maka mistiisme dapat digolongkan baik dalam agama sebagai puncak kehidupan religius, maupun dalam filsafat sebagai filsafat mistika” Menurutyang ditulis Fadli mengatakan bhawa manusia dengan Tuhan itu mempunyai hubungan yang erat, yang seperti tidak dipisahkan. “ … manusia berasal dari Tuhan namun Manusia bukan Tuhan. Manusia dan Tuhan adalah dua hal yang berbeda tapi tak terpisahkan. Hubungan manusia dan Tuhan itu diibaratkan kain dan Baju, ombak dan lautan, angin dan debu.” Simuh juga menerjemahkan karya Ronggowarsito dalam suluk Saloka Jiwa, yang menyatakan bahwa manusia setelah mati akan kemabali ke awa mula dia dibentuk. “ adapun manusia berasal dari cahaya gaib. Apabila meninggal atau jaman kiamat, manusia akan kembali padaDzat yang gaib. Yakni pulang ke tempat asalnya, manunggaling kawula gusti” Dalam perbedaan nya Abdullah mengatakan untuk pernyataan kias seperti itu dan dibantu oleh ilmu Fisika, menyatakan akan adanya fenomena paradoks yang mempunyai dua sifat. “ … adanya Paradoks, yang menyatakan bahwa suatu fenomena dapat mempunyai dua sifat, jelasnya cahaya dapat bersifat partikel (benda) maupun gelombang. “ Sepeninggalan dari Ronggowarsito ialah ia dijadikan sebgai pujangga penutup seperti sama halnya nabi Muhammad Saw yang dijadikan rasul penutup, dalam hal ini berarti sudah tidak ada lagi karya-karya diturunkan, sama seperti Nabi Muhammad Saw tidak ada lagi rasul yang muncul. Kematian Ronggowarsito masih menjadi kontrofersi, ada yang percaya bahwa kematiaanya itu sudah diramal akan kematiaannya, tetapi bila dilihat dari keadaan yang ada kemungkinan Ronggowarsito dibunuh karaena adanya perubahaan kekuasaan, dan ada juga yang mengatakan bahwa Ronggowasito dibunuh oleh Pakubuwono IX yang dibantu Belanda karena Pakubuwono IX takut akan Ronggowarsito bisa menghasut rakyat untuk menggulingkan pemerintahannya, itu menurut Suripan Sadi Hutomo dalam surat kabar Sinar Harapan, 15 Desember 1979. namun hal itu disanggah oleh kalangan Mangkunegaran yang menyatkan bahwa. Ronggowarsito memang waskitha dan tau akan hari kematiaanya, dan kematiannya itu “ emating pati patitis”

PEMIMPIN BUKANLAH HANYA SEKEDAR LAMBANG

PEMIMPIN BUKANLAH HANYA SEKEDAR LAMBANG Memilih pemimpin bukanlah perkara sepele, sebab kandidat yang terpilih itulah yang akan membawa label pemimpin rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang menentukan nasib jutaan jiwa umat. Suka tidak suka, kandidat yang terpilih itulah yang kemudian akan menorehkan tinta sejarah di negeri ini. Meskipun torehan itu masih tanda tanya besar, apakah akan menjadi tinta emas yang senantiasa dikenang atau tinta hitam yang senantiasa diratapi. Mampukah ia menjadi pemimpin sejati, atau justru menjadi pemimpin yang menghianati amanat rakyat. Pemimpin merupakan lambang kekuatan, keutuhan, kedisiplinan dan persatuan. Namun harus kita sadari juga bahwa pemimpin bukanlah hanya sekadar lambang. Karena itu, ia memerlukan kompetensi, kelayakan dan aktivitas yang prima untuk memimpin bawahannya. Melihat esensi kepemimpinan, sebagai seorang Muslim, tentu tidak bisa sembarangan dalam memilih pemimpin. Jangan sampai perilaku “memilih kucing dalam karung” menghantui kita. Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: "Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Al-Bukhari). PERAN SEORANG PEMIMPIN Menurut perspektif Islam ada dua peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin: 1.Pelayan (khadim) Pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya.Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya. 2. Pemandu (muwajjih) Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai dengan sempurna jika di bawah naungan syariat Islam. • sumber :Al Fikrah No.11 Tahun X/08 Rabiul Akhir 1430 H Dalam sebuah organisasi atau pun wilayah pasti ada penguasa yang memimpin, dan pemimpinnya pasti menginginkan yang terbaik bagi kelompoknya. Namun dewasa ini posisi pemimpin sering disalah gunakan dalam wewenangnya, misalnya saja untuk memperkaya diri sendiri dengan menggunakan posisinya dalam menguasai segala sektor ekonomi dengan cara korupsi ataupun dengan cara lain yang tidak baik. Tentunya tidak semua pemimpin buruk, masih ada pemimpin yang dalam kekuasaannya berlaku baik bahkan benar-benar mengabdi pada rakyatnya. Walaupun di Indonesia bisa dikatakan jarang namun masih ada walupun jumlahnya terbatas. Semua pihak ingin menciptakan keadaan yang kondusif pada berbagai hal, dan inilah yang harus diupayakan oleh seorang pemimpin sebagai nahkoda dalam suatu kelompok. Namun ini juga harus dibantu oleh semua elemen dalam kelompok itu sendiri. Indonesia yang memiliki penduduk sekitar 200 juta lebih tentunya pasti ada yang bersifat pemimpin yang bijaksana dan memiliki kepentingan untuk semua rakyatnya untuk lebih baik. Semua pasti ingin yang terbaik bagi negeri ini, bukan saling menjegal demi kekuasaan, alangkah baiknya jika semua bertindak jujur berdasarkan hati nurani, tentunya masalah yang membelit negeri tercinta ini akan cepat berahkir, bukan seperti sekarang ini yang saling menuding dan lempar tanggung jawab. Harus ada pemimpin yang berani bukan hanya sekedar membela partai yang mengangkatnya, namun harus berani mengungkap kebenaran walaupun itu dari dalam tubuh partai yang membesarkannya. Pemimpin adalah posisi yang harus mengemban amanah rakyat, bukan memperalat rakyat. Sekarang ini kita jangan berpangku tangan dan terlena menyaksikan kisah muram durja negeri ini, sekecil apapun itu kita harus lakukan bagi negeri ini.