Bab I
Pendahuluan
A. latar belakang
Pada bulan Desember 1927 di kairo berdiri sebuah Perhimpunan Pemuda Islam (YMMA). Namun setahun kemudian, yakni pada tahun 1928 lahirlah sebuah organisasi baru yaitu Ikhwanul Muslimin yang berdiri di kota Isma’iliah, Mesir. Organisasi ini didirikan oleh Hasan al-Banna bersama keenam tokoh lainnya yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al- Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al- Maghribi yang juga merupakan anggota YMMA. Diantara YMMA dan IKhwanul Muslimin keduanya adalah merupakan organisasi kelompok Islam. Namun perbedaannya adalah terletak dalam metode bergerak, program pendukungnya dan arah penampilannya.
Gerakan Ikhwanul Muslimin tidak berasal dari barat baik langsung maupun tidak langsung. Ia tidak mempunyai sangkut paut dengan organisasi fasis maupun nazi. Ikhwanul Muslimin juga tidak mempunyai hubungan dengan suatu serikat asing. Asal muasal yang mendorong lahirnya Ikhwanul Muslimin dapat dilihat dari dua sumber yakni dengan mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mesir awal abad ke-20 hingga 1928 dan juga dengan mempelajari sejarah hidup al-Banna.
Organisasi ini bertujuan untuk mempersatukan umat Islam dalam menghadapi era globalisasi. Dimana pada saat itu, keadaan politik dan pemerintahan Mesir sedang terombang-ambing. Sehingga pada tahun 1933, al-Banna muncul dan bergerak bersama para aktivis agama menggalang semacam front. Ia membuka kontak dengan took buku Salafiyah milik Muhibbuddin al-Khatib yang juga merupakan pemilik surat kabar al Fath. Pada tahun 1932, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez yakni Abu Soweir dan al-Mahmoudiyah.
B. rumusan masalah
Bab II
Pembahasan
A. peranan al-Banna serta pertumbuhan dan perkembangan Ikhwanul Muslimin
Pada tanggal 19 September 1927, al-Banna tiba di kota Isma’iliah dan mengajar di sebuah sekolah pemerintah. Di kota inilah pada bulan Maret 1928 ia mendirikan Ikhwanul Muslimin. Pada saat itu ia hanya memiliki enam orang pengikut dan sekelompok siswa yang taat kepada guru. Enam bulan menjelang munculnya Ikhwanul Muslimin, ia melancarkan sebuah persiapan. Ia kembali kepada eksperimen yang pernah dilancarkannya di Kairo dengan hasil jauh lebih mantap. Ia berkotbah menerangkan ayat, mengingatkan umat akan azab neraka dan nikmat surga.
Ia mahir memahami kelompoknya yang kecil dan cara-cara efektif menghadapi ulama, sufi dari berbagai aliran dan orang-orang terkemuka. Ia berhasil menyingkirkan sejumlah pertentangan-pertentangan. Ia membatasi petunjuknya pada masalah-masalah umum dan pada soal-soal di sekitar lingkungan sendiri. Ia mencoba menegakan sebuah gerakan yang umum dan luas yang didasari ilmu, pendidikan dan semangat militansi yaitu soko guru ajaran Islam.
Pada masa awal aktivitasnya di Isma’iliah, politik tidak menjadi elemen menyolok dalam program al-Banna sepanjang masa persiapannya. Lingkungan baru telah mengimbuhi tendensi politik di atas kesufiannya. Ia tinggal di Isma’iliah sejak tahun 1928 sampai 1933. menyebarkan gerakan yang tidak terbuka tetapi berhasil menarik perhatian. Sebagian besar pengikut al-Banna adalah kaum pekerja.
Setelah dua tahun melakukan perjalanan, ia mendirikan gerakan Abusir, Port Said dan al-Balah. Setahun kemudian, sebuah cabang berdiri di Suez. Ia juga mendirikan sebuah markas besar gerakan di Isma’iliah yang berfungsi sebagai tempat pertemuan.
Setelah lima tahun Ikhwanul Muslimin berdiri, al-Banna dipindahkan ke Kairo. Dengan ini Ikhwanul Muslimin memasuki tahap baru. Namun masih bergerak dengan gaya terdahulu yaitu tertutup dan rahasia, mengunjungi masjid dan berkotbah, memilih para pendukung dan mendirikan cabang secara diam-diam dan waspada.
Al-Banna mendirikan Majallatul Ikhwanul Muslimin (majalah Ikhwanul Muslimin). Komunikasi yang sebelumnya dijalin lewat kunjungan, pamphlet dan kegiatan kelompok, ini ditingkatkkan melalui artikel dan pelbagai tulisan. Kemudian al-Banna melaksanakan kongres umum yang dihadiri semua cabang. Ia mulai menebarkan pandang ke sepanjang perbatasan Mesir. Mulailah bermunculan cabang Ikhwan di Sudan, Suriah, Libanon, Palestina dan negeri-negeri Afrika Utara. Selama periode tersebut al-Banna memasuki kalangan politik dengan memberikan ceramah di radio dan klub. Ia juag menyurati para perdana menteri pemerintah Mesir berturut-turut. Mulai dari Muhammad Mahmud Pasha sehingga meletusnya Perang Dunia II.
Sementara itu,pemerintah belum menunjukan perhatian istimewa terhadap gerakan ini. Langkah politik Ikhwan yang paling jauh ialah seruan untuk membubarkan partai dan mengendalikan kekuatan politik nasional kesatu arah. Posisi mereka yang mulai berhadapan muka dengan pemerintah Mesir itu dimulai dari kepercayaan mereka sendiri bahwa setiap pemerintahan yang berdiri pada asa dan hokum no-Islam sesungguhnya tidak punya nilai. Mereka melanjutkan seruan untuk berpaling kesistem pemerintahan Islam dalam semua aspeknya. Namun belum mengambil jalan kekerasan.
Pada tahun 1938, gerakan ini memantapkan tujuan. Al-Banna meletakan prinsip-prinsip melalui pamphlet berjudul Nahwan Nur (kea rah cahaya). Ini adalah sebuah gerakan Salafiyah, sebuah jalan ortodoks, kenyataan sufi, lembaga politik, kelompok olahraga, masyarakat ilmu dan kebudayaan, kongsi dagang dan gagasan social.
Pada periode 1939-1945 (saat Perang Dunia II) Ikhwanul Muslimin memasuki tahap baru. Periode ini dinamakan awal azab sengsara gerakan tersebut terutama dalam kaitannya dengan kegiatan politik. Tapi juga awal sukses dan penghargaan atas vitalitasnya dan pelaksanaan programnya secara luas. Kegiatannya meningkat. Kalangan perguruan tinggi mulai ambil bagian. Terutama dari Universitas Fuad Pertama dan Universitas Al-Azhar. Aktifitass komersial diperluas. Latiha fisik dan olahraga digalakan. Pelbagai kegiatan diorganisasikan melalui cabang yang bertebaran di seluruh negeri. Dengan kata lain, Ikhwanul Muslimin mulai menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan. Perselisihan pemerintah dengan Ikhwanul Muslimin sendiri pecah didorong oleh pelbagai hal yang berkembang terutama ketika perang memasuki tahap serius. Misalnya berkenaan dengan undang-undang darurat serta berbagai factor yang tidak dapat dielakkan.
Pada masa Ali Mahir dan Hasan Shabri, Ikhwan bertahan melancarkan khotbah, pendidikan pribadi dan umum, pembahasan buku yang sama seperti sebelumnya. Mereka juga mendukung keputusan Ali Mahir untuk menjadikan Mesir Negara netral.
Bencana mulai menimpa ketika Sirri Pasha berkuasa dibawah tekanan Kedubes Inggrisdan markas-markas serdadunya. Ikhwanul Muslimin dilarang menerbitkan buku pamphlet baru atau mencetak ulang pamphlet terdahulu. Bahkan percetakan mereka ditutup. Surat-surat kabar tidak didijinkan memberitakan apapunmengenai gerakan ini. Ikhwan tidak dibenarkan menyelenggarakan rapat dan pertemuan.
Pemerintah juga berusaha menceraiberaikan tokoh gerakan ini. Al-Banna dipindahkan ke Qana dan Ahmad as-Sukkari dihalau ke damietta. Namun berkat desakan perlemen akhirnya mereka dipindahkan ke Kairo. Al-Banna dan as-Sukkari ditahan lagi namun dibebaskan kembali setelah adanya tindakan dari para pendukungnya. Malah penindasan yang dilancarkan pemerintah ternyata semakin menimbulkan minat rakyat terhadap Ikhwan. Jumlah anggota meningkat. Kemudian an-Nahhas memegang pemerintahan di Mesir. Hubungan antara Ikhwan dan an-Nahhas berlanjut bagaikan pasang surut perang dan damai. Akhirnya Ikhwan menghentikan kebiasaan memberi nasihat, lisan maupun tertulis sampai an-Nahhas turun dari kursi pemerintahan pada tahun 1944.
Ketika Ahmad Mahir berkuasa, Ikhwanul Muslimin kembali dilanda sengsara. Hak pemimpinnya sangat dibatasi. Kemudian masa kekuasaan an-Nuqrasyi diawali dengan penangkapan al-Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan. Mereka dituduh bersengkongkol dalam pembunuhan Mahir. Namun tuduhan tidak terbukti dan merekapun dibebaskan.
Pada tahun 1945, perang usai. Ikhwanul Muslimin memasuki tahap terakhir. Pada tanggal 8 September mereka mengadakan sidang umum. Sebuah amandemen terhadap anggaran dasar, diumumkan dengan maksud memperjelas tujuan dan cita-cita Ikhwanul Muslimin. Ikhwan mengarahkan langkah, harapan dan cita-citanya menuju pemerintahan Islam. Mereka mencantumkan gagasan kekhalifahan dalam bagian utama program.
Pada saat Ikhwanul Muslimin mengalami masa gelap, pada tahun 1940 sampai Desember 1948 terjadi pembuangan, penangkapan, penyitaan yang silih berganti. Dimana pada saat itu gerakan ini seutuhnya dilarang, pada saat itu al-Banna berkeinginan memajukan negeri secara religius, social dan ekonomi dengan meninggalkan asperk politik. Namun langkah tersebut terlambat karena pada tanggal 12 Februari 1949, Hasasan al-Banna tewas dalam suatu pembunuhan. Maka soko guru Ikhwanul Muslimin tumbang. Akibat peristiwa itu, anggota Ikhwan kembali ditangkap dan diperkarakan. Mereka menjadi orang-orang yang tidak dilindungi undang-undang.
Setelah kematian al-Banna, azab yang ditanggung Ikhwanul Muslimin mencapai puncaknya. Jumlah oendukung semakin merosot. Dapat dikatakan bawha gerakan ini benar-benar sudah runtuh. Namun, ketika pemilu, Partai Wafdi yang didukung oleh Ikhwan keluar sebagai pemenang dengan kelebihan banyak suara. Maka, sedikit demi sedikit kesengsaraan Ikhwan berkurang. Para penulis mereka mulai bergerak. Surat kabar mulai bermunculan lagi. Bahkan telah terpilih Direktur Jenderal yang baru yakni Hassan Ismailal-Hudaibi.
Pada tanggal 15 Desember 1951, pemerintah Mesir mengembalikan sebagian harta Ikhwan yang disita, diantaranya gedung markas besar mereka, kantor surat kabar dan percetakan serta beberapa kantor cabang. Masa ini dapat disebut sebagai periode pembenahan secara besar-besaran. Sisa-sisa gerakan direkrut dan ditingkatkan. Hirarki ditegakan, tempat yang lowong diisi tenaga baru. Kini para ulama Ikhwan mulai dengan penjelasan detail melalui berbagai tulisan dan artikel panjang. Mencari pemenuhan prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari yakni Islam dan kondisi politik, Islam dan masalah-masalah hokum, Islam dan perdagangan, islam dan posisi ekonomi, Islam dan program social, dan Islam dan kelaliman politik. Ini memberikan pertanda Ikhwan memasuki tahap baru.
Masa kebangkitan ini didukung oleh majalah mereka, Al-Muslimun. Kepemimpinannya dipercayakan kepada seorang propagandis Ikhwan terkemuka. Yang sebelumnya Ikhwan lebih banyak menghimbau massa, kini tampaknya gerakan tersebut lebih melirik kalangan terdidik.
B. Ikhwanul Muslimin dan Revolusi Mesir
Pada tanggal 23 Juli 1952 revolusi meledak. Pada tingkat pertama ada dua keputusan Dewan Revolusi yang menggembirakan Ikhwan yakni, mengusut kematian al-Banna dan menghukum sang pembunuh dan komplotannya, kedua, amnesty untuk tahanan politik yang langsung menyangkut nasib sejumlah anggota Ikhwan. Para penguasa revolusi mengambil tindakan ini adalah sebagai usaha untuk menegakan keadilan. Dimana, saat di bawah kekuasaan dan pemerintahan lama, pembunuhan terhadap al-Banna tak pernah diungkit dan para tahanan politik sebagian besar ditangkap berdasar kecurigaan tanpa bukti yang kuat. Akhirnya banyak orang yang mengatakan bahwa revolusi merupakan alat Ikhwan untuk mewujudkan gagasan-gagasan mereka.
Pada tanggal 9 Desember 1952, setelah Ali Mahir meletakan jabatan, Mohammad Najib membentuk cabinet. Ia menggundang Hudaibi untuk menunjuk tiga orang wakilnya dalam pemerintahan yang baru. Namun hanya satu yang disetujui Dewan Revolusi yaitu syaikh Hasan al-Baquri. Mengetahui keputusan ini, Hudaibi memberitahu Gamal Abdul Nasser, Komite Sentral Ikhwanul Muslimin agar tidak ikut memerintah. Hal ini karena Ikhwan tak ingin memberi warna khusus dalam pemerintahan dan tak ingin mengundang kritik dari luar. Akhirnya Al-Baquri duduk sendirian dalam cabinet. Ia dipecat Ikhwan. Mereka tidak peduli akan kemarahan tokoh ini atau akan bahaya yang mengancam menghubungkan mereka dengan Revolusi di masa depan. Ikhwan juga tidak berusaha menutupi tujuan mendirikan pemerintah Islam.
Langgam kerja mereka sekarang dibagi dalam program jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek yaitu menyingkirkan beban utama yang menindih pundak bangsa, tugas yang sudah berhasil dilaksanakan angkatan darat. Adapun program jangka panjang didasarkan pada prinsip pendidikan yang luas, usaha melahirkan generasi baru yang “Islam dalam pikiran, perasaan, moral serta berjuang untuk pelaksanaan hokum Allah”. Generasi baru yang didengung-dengungkan Ikhwan itu menjadi bahan persiapan bagi pelaksanaan hokum Islam di masa depan. Mereka tidak sudi mempercayakan hal itu ke tangan para perwira militer. Namun, diperkirakan generasi baru itu baru akan beres setelah sepuluh tahun. Dan selama itu mereka ingin Dewan Revolusi yang memegang tampuk kekuasaan. Akan tetapi, revolusi menolak tawaran itu. Judi dan alcohol masih diperbolehkan. Merasa kecewa, akhirnya Ikhwan tampak semakin gigih.
Pada tanggal 10 desember 1952 konstitusi lama dihapuskan dan dibentuk majelis konstituante yang baru beranggotakan 100 orang. Tiga diantaranya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Konstituante yang dibentuk adalah berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Pada tanggal 16 Januari 1953 semua partai politik dibubarkan. Namun tidak dengan Ikhwanul Muslimin, ada jaminan bahwa mereka tidak akan mengikuti kegiatan politik. Tapi setelah menjadi satu-satunya organisasi legal yang boleh melancarkan kegiatan, mereka kembali tergoda untuk menasihati dan menggurui pemerintah. Mereka kemudian meminta duduk dalam cabinet. Ketika permintaan ini ditolak, mereka menguslkan pembentukan sebuah komite Ikhwan yang bertugas memeriksa semua peraturan sebelum diundangkan. Namun juag ditolak. Akhirnya Hudaibi segera melancarkan kampanye menyerang pemerintah. Para Ikhwan diminta memandang Dewan Komite sebagai “musuh yang harus dilawann”
Pada tanggal 2 Januari 1953, sebuah lembaga politik baru berdiri yang bernama Dewan Pembebas. Dewan ini semacam front persatuan yang juga akan menampuung Ikhwanul Muslimin dan para anggota partai yang dibubarkan. Tetapi Ikhwan melihat ancaman tersembunyi dalam pembentukan lembaga baru ini. Mereka sadar, persatuan sudah tidak bias dipertahankan lagi. Dewan tak yakin Ikhwanul Muslimin memahami semangat dan cita-cita revolusi. Sebaliknya, Ikhwan tidak percaya Dewan Revolusi menghargai prinsip-prinsip mereka. Jurang perpisahan semakin lebar.
Setelah peristiwa ini, Ikhwanul Muslimin mengarahkan perhatiannya kepada angkatan darat dan polisi. Mereka membina ‘sel’ rahasia dalam tubuh kedua organ tersebut. Sel-sel ini merupakan ‘ragi’ yang mengembangkan kegiatan Ikhwanul Muslimin. Dalam front yang lebih terbuka, Ikhwan menggalakkan kegiatannya di kalangan serikat buruh. Pemerintahan Mesir tentu saja waspada dan mengambil sejumlah tindakan antara lain memindahkan para perwira yang dicurigai bahkan memecat beberapa setelah mengalami masa penahanan.
Setelah persetujuan Inggris-Mesir mengenai Sudan, pada tanggal 12 Febuari 1953 pemerintah mengarahkan perhatiannya pada masalah Terusan Suez. Berbagai perundingan diselenggarakan dan pada tanggal 19 Oktober 1954 mencapai sebuah persetujuan. Mengenai masalah ini, sejak semula pemerintah dan Ikhwanul Muslimin berbeda pendapat Ikhwan secara apriori mencurigai Inggris dan menganggap perundingan dengan mereka tidak akan memecahkan persoalan Mesir. Bukan rahasia lagi Ikhwan mempersiapkan diri mengangkat senjata melawan Inggris. Revolusi bangkit untuk mengusir Inggris dan memberi mereka sebuah pelajaran. Itulah sebabnya Garda Nasional didirikan dan Kawula Mesir menyambutnya dengan hangat, dipimpin para pemuda Ikhwan. Revolusi sudah menemukan jalannya dan tidak berurusan dengan perundingan, melainkan perjuangan bersenjata. Perundingan adalah cara yang hanya akan memuaskan pihak Inggris.
Inggris sendiri tidak putus asa. Mereka membuka kontak dengan Ikhwan, menjajaki pandangan serikat itu mengenai persoalan persetujuan bersama. Dan hal ini membangkitkan amarah pemerintah yang mencoba menggalang front dari seluruh potensidalam negeri. Tidak ada keseregaman diantara sumber yang mengungkapkan kontak tersebut. Menurut sumber Ikhwan, Inggris mengharapkan serikat itu membantu para pewira komando mereka. Sumber revolusi sendiri menyebutkan Ikhwan menelikung para perunding pemerintah dari belakang dengan cara menawarkan syarat yang lebih lunak. Mereka kabarnya menyetujui kembalinya Inggris ke wilayah Terusan Suez tergantung pada keputusan yang diambil sebab komite Inggris-Mesir dan PBB akan menentukan syarat-syarat yang memungkinkan perang. Hal ini konon, tidak disetujui para perunding. Pembicaraan Ikhwan-Inggris meliputi juga kemungkinan tercapainya sebuah persetujuan rahasia.
Kenyataannya, bahwa sebelum persetujuan apapun tercapai, pada tanggal 12 Januari 1954 sebuah peristiwa telah membukakan jalan bagi pembubaran Ikhwanul Muslimin. Mereka dikenakan undang-undang yang membubarkan partai politik. Ratusan anggota mereka ditahan, termasuk Hudaibi dan Shalih Ashmawi. Pemerintah merasa cukup punya alas an membubarkan Ikhwan. Di satu pihak, Dewan Revolusi yang disegani Ikhwan sudah tidak berhasil menciptakan perdamaian. Dilain pihak, Ikhwan tampaknya sudah memilih jalan sendiri yang lebih condong kepada pertumpahan darah.
Pada tanggal 23 Febuari1954, Mohammad Najib tersingkir dari kedudukannya. Peristiwa ini membangkitkan demonstrasi, kekerasan dua hari kemudian. Keadaan menjurus kearah perjuangan bersenjata. Pada tanggal 28 Febuari 1954 Mohammad Najib dikembalikan pada kedudukannya. Dan Ikhwan memandang peristiwa ini sebagai kemenangan mereka yang didukung massa. Setelah itu, dua kali lagi mereka melancarkan demonstrasi kekerasan. Yang pertama, menewaskan delapan mahasiswa dan duapuluh luka-luka yang terjadi di dekat masjid Universitas Kairo. Dan pada demondtrasi kedua, seorang mahasiswa dan seorang polisi terbunuh serta limabelas luka-luka, di dekat Hotal Semiramis.
Bersama mata rantai peristiwa yang dikobarkan Ikhwan secara intern, ada pula actor luar yang turut menekan Dewan Revolusi. Ikhwan menyelenggarakan konferensi di Damaskus, dihadiri cabang Suriah, Irak, Yordania dan Sudan. Konferensi ini melancarkan kampanye menentang revolusi dan menentang pernyataan pemerintah mengenai pembubaran Ikhwan.
Pada tanggal 25 Maret 1945, Dewan Revolusi mengeluarkan sebuah dekrit terdiri dari 6 pasal. Pasal kedua mengumumkan diizinkannya kembali partai-partai politik, termasuk Ikhwanul Muslimin. Tanggal 28 Maret 1954, pemogokan umum berlangsung. Akhirnya Nasser tampil kedepan mengepalai sebuah pemerintahan militer. Dia membubarkan partai-partai politik, kecuali Ikhwanul Muslimin. Ikhwan kemudian memusatkan usahanya untuk menggulingkan rezim yang memerintah. Hanya sedikit yang ragu bahwa mereka bermaksud membujuk Mohammad Najib, yang sebenarnya cenderung memilih front kerakyatan di banding Dewan Revolusi. Mereka juga memusatkan perhatian pada pembentukan organisasi rahasia, yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Abdul Mun’im Abdur Rauf.
Ketika persetujuan evakuasi mulai dirintis tanggal 1 September 1954, Ikhwan meledak dalam kemarahan dan berusaha membatalkan persetujuan tersebut. Namun pemerintah tetap menandatangani persetujuan tersebut tanggal 19 Oktober 1954. Ikhwanul Muslimin mengumumkan perang tak kenal ampun terhadap revolusi. Ikhwan menekankan tidak ada persetujuan yang dapat dibuat pemerintah dengan suatu Negara asing tanpa kesepakatan parlemen terpilih, yang secara terhormat mewakili keinginan rakyat Mesir, dengan membebaskan pers dari sensor, sehingga tiap orang leluasa mengemukakan pendapatnya.
Keadaan bertambah gawat. Hudaibi melakukan perjalanan ke berbagai Negara Arab seraya mengeluarkan pernyataan anti-revolusi. Kemudian, dua bulan mereka kembali secara terang-terangan memusuhi revolusi. Ikhwan mengerahkan seluruh kekuatannya melawan persetujuan itu. Mereka menyiarkan sebuah pernyataan Muhammad Najib yang mengkritik persetujuan tersebut ketika menjabat presiden.
Pada waktu yang sama organisasi rahasia Ikhwa meneruskan usahanya mengatur demonstrasi umum dengan tujuan memaksa pemerintah mundur. Tapi keadaan berbalik ketika Mahmud Abdul Latief gagal menembak Nasser pada tanggal 26 Oktober 1954. Enam anggota Ikhwan diadili dan digantung. Menurut sumber mereka, lebih dari tiga ratus orang dihukum kerja paksa untuk jangka waktu yang panjang, sekitar sebelas ribu menerima hukuman pelbagai tingkat. Sejarah akhirnya menjadi hakim. Terlepas dari baik buruknya persetujuan Inggris-Mesir, tidak sepenuhnya menuduh Nasser sebagai kolaborator Iggris yang ingin mencantolkan Mesir lebih erat ke blok barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar